Membuat aturannya sendiri
Pembelian lukisan terkenal yang dilakukan MBS pada 2017 memberi tahu kami banyak hal tentang cara berpikirnya, dan kesediaannya untuk mengambil risiko.
MBS tidak takut untuk keluar dari masyarakat konservatif agama yang ia pimpin. Dan yang terpenting, bertekad untuk mengungguli Barat dalam unjuk kekuatan yang mencolok.
Pada 2017, seorang pangeran Saudi, yang dilaporkan mewakili MBS, menghabiskan hampir Rp7 triliun (US$ 450 juta) untuk lukisan Salvator Mundi, karya seni termahal di dunia yang pernah dijual.
Potret yang konon dilukis oleh Leonardo da Vinci ini menggambarkan Yesus Kristus sebagai penguasa langit dan bumi, penyelamat dunia. Selama hampir tujuh tahun, sejak dilelang, benda itu hilang sama sekali.
Sumber gambar, Getty Images
Bernard Haykel, teman putra mahkota dan profesor Studi Timur Dekat di Universitas Princeton, mengatakan meskipun ada rumor yang menyebut bahwa lukisan itu digantung di kapal pesiar atau istana pangeran, karya itu sebenarnya berada di Jenewa dan MBS bermaksud untuk menggantungnya di sebuah museum di ibu kota Saudi yang belum dibangun.
“Saya ingin membangun museum yang sangat besar di Riyadh,” Haykel mengutip ucapan MBS. “Dan saya ingin [lukisan] menjadi objek jangkar yang dapat menarik perhatian orang, seperti halnya Mona Lisa.”
Demikian pula, rencananya di bidang olahraga mencerminkan seseorang yang sangat ambisius dan tidak takut melawan status quo.
Pengeluaran luar biasa yang dilakukan Arab Saudi untuk olahraga kelas dunia – satu-satunya penawar tuan rumah Piala Dunia FIFA 2034, dan melakukan investasi jutaan dolar untuk turnamen tenis dan golf – disebut sebagai “sportswashing”, upaya menggunakan olahraga untuk meningkatkan reputasi.
Namun apa yang kami temukan, MBS adalah pemimpin yang kurang peduli terhadap apa yang Barat pikirkan tentang dirinya. Sebaliknya, ia akan melakukan apa pun yang diinginkannya demi menjadikan dirinya dan Arab Saudi hebat.
“MBS tertarik untuk membangun kekuatannya sendiri sebagai seorang pemimpin,” kata Sir John Sawers, mantan Kepala MI6, yang pernah bertemu dengannya. “Dan satu-satunya cara dia bisa melakukan hal itu adalah dengan membangun kekuatan negaranya. Itulah yang mendorongnya.”
Karier Jabri selama 40 tahun sebagai pejabat Saudi tidak bertahan dalam konsolidasi kekuasaan MBS. Jabri melarikan diri dari kerajaan saat MBS mengambil alih, setelah diberi tahu oleh badan intelijen asing bahwa ia mungkin berada dalam bahaya.
Namun Jabri mengatakan MBS tiba-tiba mengiriminya pesan, menawarinya kembali pekerjaan lamanya. “Itu hanya umpan – dan saya tidak menggigitnya,” kata Jabri, yang yakin bahwa dia akan disiksa, dipenjara atau dibunuh jika kembali.
Saat itu, anak-anak Jabri yang masih remaja, Omar dan Sarah, ditahan dan kemudian dipenjara karena tuduhan pencucian uang dan mencoba melarikan diri – tuduhan yang mereka bantah. Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang telah menyerukan pembebasan mereka.
“Dia merencanakan pembunuhan saya,” kata Jabri. “Dia tidak akan berhenti sampai dia melihat saya mati. Saya yakin akan hal itu.”
Pejabat Saudi telah mengeluarkan pemberitahuan Interpol untuk ekstradisi Jabri dari Kanada, namun tidak membuahkan hasil. Mereka mengklaim Jabri dicari karena dugaan korupsi yang melibatkan miliaran dolar selama menjabat di Kementerian Dalam Negeri.
Di sisi lain, Jabri diberi pangkat mayor jenderal dan dipuji oleh CIA dan MI6 karena membantu mencegah serangan teroris al-Qaeda.
Pandangan tentang pembunuhan Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada 2018 yang diduga melibatkan peran MBS yangsangat sulit untuk dibantah.
Pasukan pembunuh beranggotakan 15 orang tersebut melakukan perjalanan dengan paspor diplomatik dan termasuk beberapa pengawal MBS sendiri.
Jenazah Khashoggi tidak pernah ditemukan dan diyakini telah dipotong-potong dengan gergaji tulang.
Profesor Haykel bertukar pesan WhatsApp dengan MBS tidak lama setelah pembunuhan tersebut. “Saya bertanya, 'bagaimana ini bisa terjadi?',” kenang Haykel.
“Saya pikir dia [MBS] sangat terkejut. Dia tidak menyadari reaksi terhadap hal ini akan begitu dalam.”
Dennis Ross bertemu MBS tak lama setelah itu. “Dia [MBS] bilang dia tidak melakukannya dan itu adalah kesalahan besar,” kata Ross.
“Saya tentu ingin memercayainya, karena saya tidak percaya dia bisa mengizinkan hal [seperti] itu.”
Sumber gambar, Reuters
MBS selalu menyangkal mengetahui rencana tersebut, meskipun pada 2019 dia mengatakan akan mengambil “tanggung jawab” karena kejahatan terjadi di bawah pengawasannya.
Laporan intelijen AS yang tidak diklasifikasikan, dirilis pada Februari 2021, menegaskan bahwa MBS terlibat dalam pembunuhan Khashoggi.
Saya bertanya kepada mereka yang mengenal MBS secara pribadi, apakah dia telah belajar dari kesalahannya; atau apakah dia bertahan dari kasus Khashoggi, hal itu justru memberinya keberanian.
“Dia mengambil pelajaran dari pengalaman pahitnya,” kata Profesor Haykel, yang mengatakan bahwa MBS tidak suka kasus ini digunakan sebagai alat pemukul terhadap dirinya dan negaranya, namun pembunuhan seperti yang dilakukan Khashoggi tidak akan terjadi lagi.
Sir John Sawers dengan hati-hati setuju bahwa pembunuhan itu adalah titik balik. “Saya pikir dia telah memetik beberapa pelajaran. Namun kepribadiannya tetap sama.”
Ayahnya, Raja Salman, kini berusia 88 tahun. Jika meninggal, MBS bisa memerintah Arab Saudi selama 50 tahun ke depan.
Namun, baru-baru ini dia mengakui bahwa dia takut dibunuh, mungkin sebagai konsekuensi dari upayanya untuk menormalisasi hubungan Saudi-Israel.
“Saya rasa ada banyak orang yang ingin membunuhnya,” kata Profesor Haykel, “dan dia mengetahuinya.”
Kewaspadaan abadi itulah yang membuat orang seperti MBS tetap aman. Hal itulah yang diamati Saad al-Jabri pada awal naiknya sang pangeran ke tampuk kekuasaan, ketika ia mencabut soket telepon dan stopkontak dari dinding sebelum berbicara dengannya di istananya.
MBS merupakan orang yang mempunyai misi untuk memodernisasi negaranya, dengan cara yang tidak pernah berani dilakukan oleh para pendahulunya.
Tapi dia juga bukan otokrat pertama yang mengambil risiko menjadi begitu kejam sehingga tidak ada seorang pun di sekitarnya yang berani mencegahnya melakukan lebih banyak kesalahan.
- Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohammed bin Nayef, telah diganti. Dekrit Kerajaan Saudi menyatakan, Mohammed bin Salman, yang merupakan putra Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud, kini diangkat sebagai Putra Mahkota yang baru.
Pengumuman mengejutkan ini disampaikan oleh
(SPA) sebagai kantor berita resmi Saudi dan kemudian disiarkan via televisi nasional Saudi. Demikian seperti dilansir
Pangeran Mohammed bin Salman, yang sebelumnya menempati posisi Wakil Putra Mahkota, akan menggantikan Mohammed bin Nayef sebagai Putra Mahkota Kerajaan Saudi. Mohammed bin Nayef yang berusia 58 tahun, merupakan keponakan Raja Salman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini berarti, Mohammed bin Salman akan menjadi Raja Saudi selanjutnya, jika Raja Salman tidak mampu lagi memerintah.
Menurut laporan SPA, Pangeran Mohammed bin Salman terpilih sebagai Putra Mahkota yang baru dengan memperoleh suara mayoritas dalam Komisi Suksesi Saudi. Dari 43 anggota Komisi Suksesi Saudi, sebanyak 31 anggota menyetujui Mohammed bin Salman sebagai Putra Mahkota Saudi yang baru.
Dekrit yang dikeluarkan oleh Raja Salman itu juga menyatakan penunjukan Pangeran Abdulaziz bin Saud bin Naif sebagai Menteri Dalam Negeri Saudi. Posisi itu sebelumnya dipegang oleh Mohammed bin Nayef.
Tidak diketahui pasti alasan penggantian Mohammed bin Nayef sebagai Putra Mahkota Saudi.
Pangeran Mohammed bin Salman merupakan anak Raja Salman dari istri ketiganya. Dia dikenal sebagai salah satu sosok berpengaruh di Saudi. Pangeran Saudi yang masih berusia 31 tahun ini, juga menjabat Menteri Pertahanan (Menhan) Saudi. Dia mencetak sejarah sebagai Menhan termuda di dunia. Pangeran Mohammed juga merupakan sosok yang mencetuskan rencana reformasi ekonomi Saudi.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pernyataan Pangeran Mohammed bin Salman sebagai kritik paling keras terhadap Israel dari pejabat Arab Saudi. Terutama sejak dimulainya perang di Gaza pada 7 Oktober 2023.
Baik Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) maupun Raja Salman mengirim pesan ucapan selamat terpisah kepada Donald Trump, yang kembali ke Gedung Putih setelah mengalahkan kandidat dari Partai Demokrat Kamala Harris.
Raja Salman dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman pada hari Selasa 9 April 2024 mengirim pesan ucapan selamat kepada para pemimpin negara-negara Islam atas Hari Raya Idul Fitri.
Arab Saudi menyatakan akan memberi Ukraina bantuan kemanusiaan. Berkontribusi untuk meringankan penderitaan warga Ukraina pascakonflik Rusia-Ukraina.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman Al Saud Rabu (25/8) mengumumkan rencana pengembangan proyek real estat di timur Masjid Nabawi di kota Madinah.
Putra mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman telah kembali ke panggung internasional. Ia sudah melakukan tur luar negeri.
Sebuah laporan resmi intelijen AS telah menemukan bahwa Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menyetujui pembunuhan jurnalis Saudi yang diasingkan Jamal Khashoggi pada 2018.
Putra Mahkota Arab Saudi meninggalkan rumah sakit segera setelah operasi usus buntu.
Riyadh saat ini berada pada posisi 40, sebagai kota dengan ekonomi terbesar di dunia.
Berita tentang aksi asusila di hotel karantina Australia yang menjadi kluster COVID-19 seperti di Wisma Atlet menjadi sorotan di Top 3 kanal Global Liputan6.com.
Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) sukses menginspirasi masyarakat Arab Saudi untuk disuntik vaksin COVID-19.
Ekonomi China diprediksi juara 1 dunia, mengalahkan AS dan India, berkat manajemen COVID-19 yang berhasil.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menerima dosis pertamanya dari vaksin COVID-19 selama siaran langsung pada hari Jumat 25 Desember 2020, menurut media negara.
Mohammed bin Salman menerima dosis pertama vaksin Corona COVID-19
Presentar Lebanon bernama Ghada Oueiss menggugat putra mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman bertanggung jawab atas peretasan ponsel dan pelecehan yang dialaminya di media sosial.
Menantu Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner terbang ke Arab Saudi dan Qatar bersama timnya.
Diam-diam, PM Israel Benjamin Netanyahu bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS).
Tuduhan itu dibuat oleh pengadilan Houthi Yaman dalam kasus serangan udara 2019 oleh koalisi pimpinan Saudi di sebuah bus sekolah yang menewaskan 51 warga sipil, termasuk 40 anak.
Jakarta, CNBC Indonesia - Skandal baru kembali menyeret nama Putra Mahkota Arab Saudi Muhammed bin Salman Al Saud (MBS). Bahkan ini pun menyangkut sang ayah, Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud.
Hal ini terkait dekrit yang dikeluarkan pemerintah Arab Saudi di 2015, yang memulai perang yang telag berlangsung bertahun-tahun di Yaman, dengan pemberontak Houthi. MBS disebut telah memalsukan tanda tangan sang ayah untuk meng-goal-kan perang tersebut.
Pernyataan awal dimuat seorang mantan pejabat Arab Saudi, Saad al-Jabri. Ia sendiri merupakan mantan mayor jenderal dan pejabat intelijen yang kini tinggal di pengasingan di Kanada.
Arab Saudi sendiri melabelinya sebagai "mantan pejabat pemerintah yang didiskreditkan". Ia berselisih dengan kerajaan di mana kedua anaknya kini dipenjara.
"Saya bukan pembangkang, dan saya juga tidak menempatkan diri saya dalam situasi ini atas pilihan saya sendiri," kata al-Jabri dimuat Associated Press (AP), Selasa (20/8/2024).
"Saya adalah pejabat tinggi Arab Saudi yang mengabdikan diri untuk menjaga negaranya, yang dikenal karena menyelamatkan ribuan nyawa warga Saudi dan Barat. Sekarang saya adalah seorang ayah yang melakukan segala yang mungkin untuk mengamankan pembebasan anak-anaknya," tambahnya.
Tuduhannya ke MBS muncul kala pria yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Arab Saudi itu menjadi Menteri Pertahanan. Ia dikatakan sering bertemu dengan sejumlah pemimpin menggantikan Raja Salman yang sudah sepuh.
Ia mengatakan dari sumber "yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan" di Kementerian Dalam Negeri Saudi, MBS menandatangani dekrit yang menyatakan perang menggantikan ayahnya. Padahal itu tidak dibenarkan.
Secara rinci, ia berujar awalnya memang terjadi kesepakatan dengan AS di bawah kepemimpinan Barrack Obama kala itu. Di mana Arab Saudi diminta "meluncurkan "kampanye pemboman udara untuk menghilangkan ancaman Houthi, membangun pencegahan dan memaksakan proses politik tanpa intervensi darat".
Awalnya, mantan bosnya, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi saat itu, Pangeran Mohammed bin Nayef, memimpin sebuah pertemuan di Arab Saudi untuk meresmikan rencana tersebut. Namun klausa tanpa intervensi darat ditolak MBS dengan ketidaksenangan.
"Namun, Pangeran Mohammed bin Salman menanggapi dengan ketidaksenangan yang nyata pada pertemuan itu dan mengatakan ia dapat mengalahkan Houthi dalam dua bulan melalui serangan darat," klaim Al-Jabri.
"Anehnya, perintah kerajaan kemudian dikeluarkan, yang membatalkan rencana yang disepakati dan mengesahkan operasi darat. Tanpa sepengetahuan raja dan dengan tanda tangan palsu," ujarnya lagi.
Perlu diketahui perang Arab Saudi dengan pemberontak Houthi di Yaman yang didukung Iran, sudah berlangsung hampir satu dekade. Perang tersebut telah menewaskan lebih dari 150.000 orang dan menciptakan salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
Houthi sendiri kini kerap melancarkan operasi di Laut Merah, seiring memanasnya Perang Gaza, dengan menembakkan sejumlah artileri ke kapal-kapal terkait Israel dan Barat. Houthi mengklaim tindakannya sebagai protes akibat serangan di Gaza dan akan berhenti seiring perdamaian di kantong Palestina itu.
Pangeran Mohammed bin Nayef awalnya merupakan Putra Mahkota Arab Saudi. Namun ia diganti dengan MBS tahun 2017 dan diyakini menjadi tahanan rumah.
Sementara itu, Al-Jabri sendiri telah mengugat MBS di pengadilan federal AS. Ia menuduh pemimpin de facto Arab Saudi itu berusaha membunuhnya setelah ia melarikan diri ke luar negeri.
"Ia merencanakan pembunuhan saya," kata al-Jabri kepada BBC.
"Ia tidak akan beristirahat sampai ia melihat saya mati. Saya tidak meragukannya," tudingnya.
"Berdiam diri hanya memperburuk keadaan, jadi saya tidak punya pilihan selain berbicara demi kesejahteraan anak-anak dan negara saya," kata al-Jabri.
Saksikan video di bawah ini:
Awal yang tidak menguntungkan
Raja pertama Arab Saudi memiliki setidaknya 42 putra, termasuk ayah MBS, Salman.
Mahkota kerajaan secara tradisional diturunkan di antara putra-putra ini. Ketika dua di antara mereka meninggal mendadak pada 2011 dan 2012, Salman diangkat ke garis suksesi.
Agen mata-mata Barat berupaya mempelajari suksesi di Arab Saudi itu – serupa dengan Kremlinologi di Rusia - untuk mencari tahu siapa yang akan menjadi raja berikutnya. Pada tahap ini, MBS masih sangat muda dan tidak dikenal, dan bahkan dia tidak masuk radar Barat.
“Dia tumbuh dalam lingkungan yang relatif tidak dikenal,” kata Sir John Sawers, kepala MI6 hingga tahun 2014. “Dia tidak ditakdirkan untuk naik ke tampuk kekuasaan.”
Sumber gambar, Getty Images
Putra mahkota juga tumbuh di sebuah istana di mana perilaku buruk hanya diganjar dengan sedikit konsekuensi, itu pun jika ada. Hal ini mungkin bisa menjelaskan kebiasaan MBS yang terkenal tak pernah memikirkan dampak dari keputusannya, sampai dia sudah menjalankannya.
MBS pertama kali mencapai ketenaran di Riyadh pada akhir masa remajanya, ketika ia dijuluki “Abu Rasasa” atau “Bapak Peluru”. Dia diduga mengirimkan sebuah peluru lewat kantor pos ke seorang hakim yang menolaknya dalam sengketa properti.
“Dia mempunyai sifat kejam tertentu,” kata Sir John Sawers. “Dia tidak suka dilawan. Tapi itu juga berarti dia mampu melakukan perubahan yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin Saudi lainnya.”
Salah satu perubahan yang paling disambut baik, kata mantan kepala MI6 itu, adalah pemotongan dana Arab Saudi untuk masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama di luar negeri yang menjadi tempat berkembang biaknya jihadisme Islam – yang memberikan manfaat besar bagi keamanan negara-negara Barat.
Ibu MBS, bernama Fahda, berasal dari suku Bedouin. Dia disebut sebagai istri kesayangan dari empat istri ayahnya. Para diplomat Barat yakin bahwa raja telah menderita penyakit demensia vaskular yang terjadi secara perlahan selama bertahun-tahun; dan MBS adalah anak yang dimintai bantuannya.
Beberapa diplomat mengenang pertemuan mereka dengan MBS dan ayahnya. Sang pangeran akan menulis catatan di iPadnya, lalu dikirimkan ke ayahnya sebagai cara untuk membantu ucapan yang akan diungkapkan kemudian.
“Saya pasti bertanya-tanya apakah MBS mengetik dialognya untuknya [Salman],” kenang Lord Kim Darroch, Penasihat Keamanan Nasional David Cameron ketika dia menjadi perdana menteri Inggris.
Sang pangeran juga tampaknya sangat tidak sabar saat menunggu ayahnya menjadi raja.
Pada 2014, MBS dilaporkan pernah menyarankan untuk membunuh raja saat itu – Abdullah, pamannya – dengan cincin beracun, yang diperoleh dari Rusia.
“Saya tidak tahu pasti apakah dia hanya sekedar sesumbar, tapi kami menganggapnya serius,” kata Jabri.
Mantan pejabat senior keamanan itu mengatakan dia telah melihat rekaman video pengawasan saat MBS membicarakan gagasan tersebut. “Dia lalu dilarang masuk istana, berjabat tangan dengan raja, untuk jangka waktu yang cukup lama.”
Dalam peristiwa tersebut, raja meninggal karena sebab alamiah, sehingga saudaranya, Salman, naik takhta pada tahun 2015. MBS diangkat menjadi menteri pertahanan dan tidak membuang waktu untuk meluncurkan perang.
Dua bulan kemudian, sang pangeran memimpin Koalisi Teluk untuk berperang melawan gerakan Houthi, yang telah menguasai sebagian besar wilayah barat Yaman dan MBS lihat sebagai saingan Arab Saudi di kawasan, yaitu Iran.
Perang ini pun memicu bencana kemanusiaan dan jutaan orang berada di ambang kelaparan.
“Itu bukanlah keputusan yang cerdas,” kata Sir John Jenkins, yang menjabat sebagai Duta Besar Inggris sebelum perang dimulai.
“Seorang komandan senior militer Amerika mengatakan kepada saya bahwa mereka telah diberi pemberitahuan 12 jam sebelumnya mengenai kampanye [perang] itu, dan ini merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Kampanye militer tersebut membantu mengubah seorang pangeran yang kurang dikenal menjadi pahlawan nasional Saudi. Di sisi lain, langkah itu juga disebut oleh teman-temannya sebagai kesalahan pertama dari beberapa kesalahan besar yang MBS buat kemudian.
Pola perilaku yang berulang pun muncul. MBS cenderung membuang sistem pengambilan keputusan Saudi yang biasanya lambat dan bersifat kolegial. Dia lebih memilih untuk bertindak tidak terduga atau berdasarkan dorongan hati.
Dia juga menolak untuk tunduk kepada AS, atau diperlakukan sebagai kepala negara yang terbelakang.
Jabri melangkah lebih jauh dengan menuduh MBS memalsukan tanda tangan ayahnya, sang raja, terkait keputusan kerajaan yang mengerahkan pasukan darat ke Yaman.
Jabri mengatakan MBS membahas perang Yaman di Gedung Putih, AS, sebelum serangan dimulai; dan Susan Rice, Penasihat Keamanan Nasional Presiden Obama, memperingatkannya bahwa AS hanya akan mendukung kampanye udara.
Namun, Jabri mengklaim MBS begitu bertekad untuk terus maju di Yaman sehingga dia mengabaikan Amerika.
“Kami terkejut bahwa ada keputusan kerajaan yang mengizinkan intervensi darat,” kata Jabri. “Dia memalsukan tanda tangan ayahnya untuk dekrit kerajaan itu. Kapasitas mental raja memburuk.”
Jabri mengatakan tuduhan yang dia ucapkan itu berdasarkan dari sumber yang “kredibel, dapat diandalkan” dan terhubung dengan Kementerian Dalam Negeri di mana dia menjabat sebagai kepala staf.
Jabri mengenang bahwa kepala stasiun CIA di Riyadh sempat menceritakan betapa marahnya dia karena MBS mengabaikan Amerika, dan menambahkan bahwa invasi ke Yaman seharusnya tidak pernah terjadi.
Mantan kepala MI6, Sir John Sawers, mengatakan meskipun dia tidak tahu apakah MBS memalsukan dokumen tersebut, “jelas bahwa ini adalah keputusan MBS untuk melakukan intervensi militer di Yaman. Itu bukan keputusan ayahnya, meski ayahnya ikut serta dalam keputusan itu.”
Kami menemukan MBS melihat dirinya sebagai orang luar sejak awal – sebagai seorang pemuda yang memiliki banyak hal untuk dibuktikan dan menolak untuk mematuhi aturan siapa pun selain dirinya sendiri.
Kirsten Fontenrose, yang bertugas di Dewan Keamanan Nasional pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, mengatakan ketika membaca profil psikologis terbitan CIA mengenai sang pangeran, dia merasa laporan itu tidak tepat sasaran.
“Tidak ada prototipe yang bisa dijadikan dasar,” katanya. “Dia memiliki sumber daya yang tidak terbatas. Dia tidak pernah diberitahu 'tidak'. Dia pemimpin muda pertama yang mencerminkan generasi yang, sejujurnya, sebagian besar dari kita di pemerintahan, sudah terlalu tua untuk memahaminya.”
Kekuasaan, minyak, hingga lukisan Rp7 triliun - Kesaksian orang dalam istana tentang Putra Mahkota Arab Saudi
Pada Januari 2015, Abdullah, raja Arab Saudi yang berusia 90 tahun, tengah sekarat di rumah sakit. Saudara tirinya, Salman, akan menjadi raja – dan putra kesayangan Salman, Mohammed bin Salman, sedang bersiap untuk mengambil alih kekuasaan.
Sang pangeran, yang dikenal dengan inisial MBS dan saat itu baru berusia 29 tahun, mempunyai rencana terbesar dalam sejarah kerajaannya. Namun, dia khawatir komplotan di dalam keluarga Kerajaan Saudi akan melawannya.
Jadi pada suatu malam di bulan itu, dia memanggil seorang pejabat senior keamanan ke istana, berupaya untuk memenangkan kesetiaannya.
Pejabat tersebut, Saad al-Jabri, disuruh meninggalkan ponselnya di atas meja, luar ruangan. Hal serupa juga dilakukan MBS.
Pangeran muda itu sangat takut pada mata-mata istana. Bahkan, dia mencabut stopkontak dari dinding, dan memutus satu-satunya telepon di sana.
Menurut Jabri, MBS kemudian berbicara tentang bagaimana ia akan membangunkan kerajaan Arab Saudi dari ‘tidur nyenyaknya’, sehingga bisa mengambil tempat yang layak dan terhormat di kancah global.
Dengan menjual saham perusahaan produsen minyak negara, Aramco, yang merupakan perusahaan paling menguntungkan di dunia, MBS berniat untuk melepaskan perekonomian Arab Saudi dari ketergantungan pada minyak.
Dia juga berencana untuk menginvestasikan miliaran dolar di startup teknologi Silicon Valley termasuk perusahaan taksi, Uber.
Tidak berhenti di situ, dengan memberikan kebebasan bagi perempuan Saudi untuk bergabung dalam dunia kerja, ia ingin menciptakan enam juta lapangan kerja baru.
Terkejut mendengar itu, Jabri bertanya kepada sang pangeran tentang sejauh mana ambisinya.
“Pernahkah Anda mendengar tentang Alexander Agung?” datang jawaban singkat dari MBS.
MBS mengakhiri pembicaraan di situ. Pertemuan tengah malam yang dijadwalkan setengah jam telah berlangsung selama tiga jam.
Jabri lalu meninggalkan ruangan dan melihat beberapa panggilan tidak terjawab di ponselnya, yang berasal dari rekan-rekan pemerintah yang khawatir karena dia tidak bisa dihubungi.
Sumber gambar, Getty Images
Selama setahun terakhir, tim dokumenter kami telah berbicara dengan teman-teman maupun penentang MBS, serta mata-mata hingga para diplomat senior dari Barat.
Pemerintah Saudi telah diberi kesempatan untuk menanggapi klaim yang dibuat dalam film BBC dan artikel ini. Namun, mereka memilih untuk tidak melakukannya.
Saad al-Jabri memiliki posisi tinggi dan penting di struktur keamanan Arab Saudi sehingga dia berteman dengan para kepala CIA dan MI6.
Meskipun pemerintah Saudi kemudian menyebut Jabri sebagai mantan pejabat yang tak dapat dipercaya, dia juga merupakan pembangkang Saudi yang paling berpengetahuan luas dan berani berbicara tentang bagaimana putra mahkota memerintah Arab Saudi.
Wawancara langka yang Jabri berikan kepada kami sungguh menakjubkan dalam detailnya.
Dengan mendapatkan akses ke banyak orang yang mengenal sang pangeran secara pribadi, kami memperoleh pencerahan baru tentang peristiwa-peristiwa yang membuat MBS terkenal – termasuk pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi, pada tahun 2018 dan peluncuran perang yang menghancurkan di Yaman.
Ketika ayahnya semakin lemah, MBS yang berusia 38 tahun kini secara de facto memimpin negara tempat kelahiran Islam dan pengekspor minyak terbesar di dunia.
Dia mulai melaksanakan banyak rencana terobosan yang dia jelaskan kepada Saad al-Jabri – dan juga dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia termasuk penindasan terhadap kebebasan berpendapat, meluasnya penerapan hukuman mati, dan pemenjaraan aktivis hak-hak perempuan.
Penelusuran Kompas.com
Tim Cek Fakta Kompas.com menelusuri pemberitaan di laman Detik.com yang mengeklaim Putra Mahkota Arab Saudi menyebut Indonesia terlalu sibuk dengan urusan negara lain.
Akan tetapi, tidak ditemukan artikel yang dimaksud pada 7 Juli 2024, sebagaimana yang terlihat pada unggahan.
Kemudian Tim Cek Fakta Kompas.com menelusuri tangkapan layar tersebut dengan metode reverse image search.
Hasilnya tangkapan layar mirip dengan artikel di laman Detik.com pada 7 April 2018 berjudul "Iran Kecam Kebijakan Arab Saudi, Tuduh Putra Mahkota Bayar AS".
Artikel aslinya membahas pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran saat itu, Bahram Qassemi.
Bahram Qassemi menuding Mohammed bin Salman membayar miliaran dolar kepada Amerika Serikat agar mendapat dukungan.
Qassemi mengkritik pernyataan Mohammed bin Salman yang mengatakan bahwa Arab Saudi dan Israel memiliki musuh bersama.
Jika diperhatikan, konten tangkapan layar itu memang terlihat sebagai hasil manipulasi. Misalnya, tulisan dalam judul memiliki kesalahan penggunaan huruf besar dan huruf kecil.
Kesalahan penggunaan huruf besar dan huruf kecil juga terlihat pada penulisan "7 juli". Selain itu, 7 Juli 2024 semestinya jatuh pada hari Minggu, bukan Sabtu.
Tangkapan layar artikel yang mengeklaim Putra Mahkota Arab Saudi menyebut Indonesia terlalu sibuk dengan urusan negara lain merupakan hasil manipulasi.
Artikel aslinya di laman Detik.com berjudul "Iran Kecam Kebijakan Arab Saudi, Tuduh Putra Mahkota Bayar AS". Konten itu merupakan hasil manipulasi, mengubah artikel asli yang terbit pada 7 Juli 2018.
Video: Kapal Perang AS Tembak Jatuh Rudal-Drone Houthi di Teluk Aden
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) berusaha meyakinkan publik soal kesehatan ayahnya, Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud, yang akan menjalani pemeriksaan lanjutan untuk infeksi paru-paru yang dideritanya.
Laporan kantor berita resmi Saudi Press Agency (SPA), seperti dilansir AFP, Rabu (9/10/2024), menyebut MBS "meyakinkan semua orang tentang kesehatan" Raja Salman yang kini berusia 88 tahun. Hal ini disampaikan MBS setelah memimpin rapat kabinet mingguan.
MBS, sebut laporan SPA, menyampaikan "apresiasi kepada semua orang yang bertanya soal kesehatan ayahnya".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Minggu (7/10), media pemerintah Saudi melaporkan bahwa Raja Salman menderita infeksi paru-paru dan akan menjalani serangkaian pemeriksaan "berdasarkan rekomendasi dari klinik kerajaan".
Raja Salman naik takhta sejak tahun 2015, meskipun MBS menjadi ahli waris takhta pertama pada tahun 2017 dan bertindak sebagai pemimpin Saudi sehari-hari.
Saudi sebagai eksportir minyak mentah terbesar di dunia, selama bertahun-tahun berupaya meredam spekulasi mengenai kesehatan Raja Salman.
Otoritas Kerajaan Saudi mengungkapkan pada Mei lalu bahwa Raja Salman menderita infeksi paru-paru, suhu tinggi dan nyeri sendi, serta sedang menjalani program pengobatan yang melibatkan antibiotik. Segera setelah itu, diumumkan oleh Riyadh bahwa Raja Salman telah pulih.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
KOMPAS.com - Beredar narasi di media sosial yang menyatakan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman menyebut Indonesia terlalu sibuk dengan urusan negara lain.
Narasi ini muncul dalam unggahan yang memperlihatkan tangkapan layar judul artikel Detik.com.
Namun, setelah ditelusuri unggahan tersebut merupakan hasil manipulasi. Konten itu merupakan jenis disinformasi dalam bentuk impostor atau peniru.
Narasi yang menyatakan Putra Mahkota Arab Saudi menyebut Indonesia terlalu sibuk dengan urusan negara lain muncul di media sosial, salah satunya dibagikan oleh akun Facebook ini , ini dan ini.
Akun tersebut membagikan tangkapan layar sebuah artikel di laman Detik.com yang menampilkan Mohammed bin Salman.
Artikel tersebut berjudul: "Putra Mahkota Arab Saudi: sebut Indonesia terlalu sibuk dengan urusan negara lain".
Akun Facebook Tangkapan layar Facebook, artikel yang mengeklaim Putra Mahkota Arab Saudi sebut Indonesia terlalu sibuk dengan urusan negara lain
Tangkapan layar Facebook, artikel yang mengeklaim Putra Mahkota Arab Saudi sebut Indonesia terlalu sibuk dengan urusan negara lain